“Kangkanung… Kangkanung… Betatak Auh…”, Seperti mantra untuk mengawali cerita di malam itu bersama perempuan adat Dayak Tomun di Desa Lopus sambil ditemani suara jangkrik sebagai backsound alami. Sunyinya malam dan lampu teplok menambah suasana semakin hening dan tak sabar mendengarkan cerita-cerita dongeng Dayak Tomun.
Inilah ceritaku tinggal bersama masyarakat adat Dayak Tomun di desa Lopus, Kubung, dan Kinipan, Kab. Lamandau, Kalimantan Tengah. Saat menuliskan cerita ini, aku masih ingat betul bagaimana pemandangan alamnya yang dikelilingi bukit-bukit dan sungai-sungai yang masih bersih.
Bersama mereka, aku belajar tentang kebiasaan adat istiadat Dayak Tomun. Hal pertama yang aku lihat dan menjadi ciri khas kebudayaan adat Dayak Tomun adalah menginang dan meminum tuak. Bukan hal aneh bagi mereka, ini sudah dilakukan turun-temurun oleh masyarakat adat dayak Tomun. Setiap berkunjung ke rumah mereka, aku akan selalu melihat kotak/tas kecil yang berisikan seperangkat bahan menginang. Tapi ada juga beberapa kelurga masih menggunakan wadah yang unik. Mereka menyebutnya Kerapik.
Tidak hanya menginang, tuan rumah akan menyungguhkan tuak. Ini adalah minuman tradisional olahan masyarakat adat dayak Tomun. Cara mereka menyuguhkan tuak pada tamu terbilang unik. Ini aku temukan ketika aku berada di Desa Lopus saat aku mengunjungi Mantan Mantir Desa Lopus. Beliau mengatakan bahwa tuan rumah adalah orang yang pertama harus meminum tuak sebelum tamu. Hal ini dimaksudkan sebagai wujud penghormatan kepada tamu bahwa minuman yang mereka suguhkan aman. Jadi, apabila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, maka tuan rumahlah yang pertama kali mengalami dan bertanggung jawab atas keamanan si tamu.
Sama halnya juga di Desa Kubung dan Kinipan ketika ada upacara adat (Bagondang) mereka juga menyuguhkan tuak. Tidak hanya laki-laki saja yang meminumnya tetapi juga perempuan adatnya. Mereka meminumnya sambil menari tradisional dan diringi musik tradisional.
Aku pun penasaran bagaimana cara membuat tuak? Menurut masyarakat adat untuk pembuatan tuaknya pun sangat sederhana yaitu dengan cara beras ketan dimasak lalu didinginkan dan diberi ragi. Setelah itu, ketan yang telah diberi ragi didiamkan selama 10 hari. Setelah didiamkan, ketan tersebut diberi tambahan air lagi air sebanyak satu tong dan gula. Lalu, ketan kembali didiamkan lagi selama 10 hari. Proses terakhir adalah direbus. Hasil rebusan ini menghasilkan uap yang kemudian diambil untuk dijadikan tuak. Rasa tuak ini begitu khas dan telah dibuat secara turun temurun oleh masyarakat adat Dayak Tomun.
Untuk pernikahan, masyarakat adat dayak Tomun harus melakukan Pinto Tanyo Sirih. Ini adalah proses dimana pihak pria meminta calon pengantin perempuannya kepada pihak keluarga perempuan dengan bantuan mantir adat. Akan tetapi sebelum ke proses pernikahan, hal pertama yang dilakukan Mantir adalah memastikan bahwa calon pengantin perempuan tidak menerima lamaran dari orang lain. Setelah itu, barulah proses pernikahan bisa dijalannya. Pihak pengantin laki-laki haruslah memberi mahar kepada pihak pengantin perempua berupa kain, uang, pakaian, dan peralatan lainnya sesuai kesepakatan dua belah pihak keluarga.
Menurut Mantir adat, dalam kebudayaan adat dayak Tomun khususnya di desa Lopus, suami memiliki peran sebagai kepala rumah tangga dan istri sebagai pengurus rumah yang menjaga anak, memasak, dan membersihkan rumah. Namun, hal tersebut tidaklah mutlak sebab peran dalam rumah tangga bisa berganti sewaktu-waktu. Seperti halnya suami yang sewaktu-waktu dapat memasak atau menjaga anak jika sang istri memiliki halangan seperti sakit atau pun hal lainnya. Intinya adanya saling kerjasama antara suami dan istri dalam menjaga keluarga mereka
Sejak adanya tragedy kabut asap 2015, aku selalu penasaran bagaimana masyarakat adat membuka lahan berladang meraka? Hampir mirip dengan suku-suku dayak lainnya seperti di Katingan dan Murung Raya. Mereka memiliki peran masing-masing dalam pembukaan ladang. Suami dan istri membuka ladang secara bersama-sama seperti menebas atau menggurun yang akan mereka tanami padi. Sang suami bertugas menebang pohon sedangkan peran sang istri mengakut kayu-kayu yang telah ditebang. Terakhir, mereka secara bersama-sama membakar rumput-rumput dan kayu-kayu yang telah dikumpul dan membakar di setiap sudut-sudut ladang. Kegiatan ini disebut dengan Manggul (persiapan).
Dalam pembukaan ladang mereka pun memiliki ritual atau upacara-upacara sesuai adat dayak Tomun. Pertama, mereka akan melakukan ritual doa kepada sang Pencipta sebelum membakar. Hal ini dilakukan agar api hanya membakar lahan yang diinginkan saja dan tidak merambat kemana-mana. Kedua, masyarakatnya haruslah menentukan bulan untuk memulai pembakaran agar mereka dapat membakar ladang secara bersama-sama dan tidak mengganggu ladang satu sama lain akibat pembakarannya. Mantan Mantir desa Lopus mengatakan bahwa cara membakarnya dimulai dari bawah bukit, tepat digaris sungai hingga ke atas bukit.
Untuk penanaman padinya pun, mereka akan membuat tanda tempat pertama kali untuk menanam padi yang disebut pengoja. Lalu, sang suami yang memimpin ritual tersebut sedangkan sang istri menyiapkan bahan-bahan upacara pembukaan lahan yaitu pahaki. Setelah itu, barulah sang istri ikut juga berdoa agar lahan yang mereka buka membawa hasil yang melimpah. Setelah semua proses pembukaan lahan dan ritual-ritualnya seleasai, barulah mereka mulai menanam padi. Sang suami bertugas nugal (melubang untuk tempat bibit padi) dan sang istri memasukan benih padinya. Biasanya benih tersebut dimasukan 2-5 biji/ lubang. Peran ini pun tidak mutlak sebab bisa saja sebaliknya dilakukan, baik oleh laki-laki maupun perempuan.
Tidak hanya mengandalkan ritual adat, masyarakat adat Dayak Tomun juga percaya pada tanda-tanda alam sebagai petunjuk dari Pucus Sangiang Pata Subajo (Tuhan). Salah satu contoh pertanda itu adalah burung Keloko. Masyarakat adat Dayak Tomun di desa Lopus percaya bahwa burung Keloko merupakan tanda apakah ladang yang mereka garap itu akan membawa rezeki bagi mereka atau tidak. Hal ini dipastikan dengan mendengar asal suara burung tersebut. Apabila burung Keloko berbunyi di sebelah kanan maka artinya baik, tetapi jika berbunyi disebelah kiri maka artinya tidak baik.
Sementara menunggu musim panen, mereka biasanya mencari ikan dengan cara tradisional menggunakan tanggu atau berburu hewan di hutan. Akan tetapi, ada patangan selama menunggu panen yaitu menganyam. Hal ini berlaku di desa Lopus. Sayangnya aku tak tahu kenapa hal ini dijadikan pantangan bagi mereka.
Pada masa panen (bahanyi) tiba, mereka melakukan kegiatan memanen secara bergotong royong (ngobat) dan saling membantu satu sama lain bersama dengan masyarakat lainnya. Sebagai rasa syukur kepada sang Pencipta, mereka akan melakukan upacara ucapan. Hasil panen yang telah didapat kemudian mereka taruh di lumbung padi yang berada dekat dengan rumah mereka.
Hal yang paling aku suka di suku Dayak Tomun adalah haum atau mufakat. Ketika mereka memutuskan sesuatu secara bersama-sama seperti peminjaman lahan untuk berladang. Ini dilakukan agar dapat memutuskan secara adil.
Dayak Tomun juga punya cara yang khas dalam mendapatkan hiburan dengan cara adat baso yaitu bercerita tentang cerita-cerita nenek moyang mereka. Dalam ceritanya sendiri banyak sekali mengandung nilai-nilai moral. Ini adalah bagian kesukaanku di malam hari.
Di kesehatan, masyarakat adat Dayak Tomun khususnya di desa Lopus, mereka memiliki seorang dukun perempuan yang khusus untuk mengobati berbagai penyakit menggunakan bahan herbal dan dukun beranak. Meskipun sekarang sudah ada bidan tetapi mereka masih percaya pada dukun beranak. Inilah yang masih dipertahankan sampai sekarang.
Upacara pembuatan nama bayi, mereka masih pertahankan. Tujuan upacara ini agar anak yang baru saja dilahirkan dapat menjadi anak yang baik dan memiliki nilai-nilai luhur. Adapun rangkaian ritualnya adalah dengan memotong ayam dan darahnya diletakkan di kening bayi tersebut sambil mengucapkan doa-doa. Sementara itu, keluarga yang lain mempersiapkan makanan. Mereka memasaknya secara tradisional menggunakan bambu sebagai wadah memasaknya. Makanan yang telah disiapkan kemudian dimakan secara bersama- sama sebagai tanda sukacita atas kelahiran anggota baru mereka.
Well… Selama aku belajar bersama mereka. Aku melihat bahwa kesejahteraan masyarakat adat Dayak Tomun sebenarnya sangat tercukupi dengan memanfaatkan hasil alam yang tersedia seperti sayur-sayuran dan buah-buahan yang tersedia di ladang mereka. Disisi lain, ketersediaan beras dalam lumbung padi mereka yang sangat cukup untuk kebutuhan mereka. Untuk kebutuhan protein, mereka bisa dapatkan dari memancing ikan di sungai, berburu hewan di hutan atau memotong hewan peliharaan mereka.
Ceritaku selama disana sungguhlah indah. Namun, perlahan tapi pasti, bayang-bayang perkebunan kelapa sawit sudah mulai nampak. Inilah menjadi kekuatiranku saat ini. Aku berharap, sepenggal ceritaku tidak akan menjadi dongeng di masa depan. Melihat masifnya pembukaan lahan secara besar-besaran oleh korporasi besar. –CoL-






